Rahim Pengganti

Bab 193 "Terluka Kembali"



Bab 193 "Terluka Kembali"

0Bab 193 "Terluka Kembali"     
0

Udara pagi yang begitu menyenangkan membuat siapa saja yang berada di tempat ini akan merasa begitu banyak kesejukan Begitu juga dengan Dira berdiri di atas balkon sembari menikmati udara yang begitu sejuk. Pagi ini ini ini dengan masih terlihat nya tetesan hujan membuat aroma tanah begitu menyejukkan aroma yang membuat seseorang menjadi tenang.     

Sebagian orang tidak akan mungkin tidak suka dengan aroma yang begitu menyengat masuk ke dalam hidung namun, berbeda dengan Dira gadis itu berubah menjadi sosok yang begitu berbeda.     

Sejak kepergian Arsen Dira juga menutup semua akses mengenai sastra gadis itu benar benar mengubur semua kenangan yang dulu pernah terukir dengan begitu indah bersama dengan pria yang hingga detik ini masih begitu membekas dalam hati nya. Arsen menjadi alasan Dira melupakan bagaimana mimpi nya, Dira hanya merasa setiap kali diri nya mengingat sastra maka bayangan senyum indah Arsen akan terlihat dengan begitu jelas.     

Keputusan tersebut diambil oleh Dira satu bulan sebelum diri nya berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan studi nya, di dalam famili untuk mengubur mimpi tersebut dan melupakan semua nya yang menjadi kenangan pada sosok orang yang begitu diri nya kenang.     

Dan disinilah Dira berada di sebuah kota yang begitu sepi tidak banyak orang yang tinggal di tempat tersebut Dira lebih memilih untuk menyendiri sembari menunggu masuk kuliah.     

"Kamu udah bangun sayang?" tanya seseorang di belakang sana. Dhira segera berbalik dan menatap ke arah orang tersebut. "Udah eyang," jawab nya. Saat ini Dhira sedang ikut dengan eyang uti dan eyang kakung nya. Bapak Joyo dan Ibu Sri ke Sukabumi, tempat di mana tidak banyak keributan hanya hamparan sawah yang terbentang sangat indah.     

"Ayo kita sarapan," ajak ibu Sri. Dhira menganggukkan kepala nya, kedua orang tua Daffa memutuskan pindah ke Sukabumi enam bulan lalu, setelah bapak Joyo resmi pensiun. Tempat yang menurut beliau adalah tempat terbaik saat ini, kedua orang tersebut lalu segera menuju meja makan.     

Terdengar dengan sangat jelas suara batuk yang begitu keras, Dhira segera mendekatkan diri nya ke arah bapak Joyo.     

"Eyang Kakung nggak apa apa?" tanya Dhira. Terlihat dengan sangat jelas raut wajah gadis itu begitu khawatir dengan kondisi sang eyang.     

"Marahi aja eyang kamu itu Ra. Uti udah berulang kali bilang, untuk berhenti buat minum kopi tapi tetap aja masih mau minum kopi terus terusan."     

"Yo gimana toh Bu, orang udah kebiasaan," balas bapak Joyo.     

"Kebiasaan yang jadi penyakit."     

Dhira tersenyum, Kakung dan Uti nya sama seperti Buna dan Baba nya yang akan selalu beradu argumen, meskipun hal itu hanya sekedar di mulut saja.     

"Eyang Kakung masih sering minum kopi, bukan nya dokter udah larang buat nggak minum kopi lagi?" tanya Dhira.     

"Udah nggak sering kok nak, hanya sesekali saja."     

"Sesekali, tapi sekalinya minum langsung banyak loh ya sama saja."     

"Eyang, nggak boleh gitu lagi ya. Kasih Uti ngomel mulu. Kakung ke sini, kan sekalian buat refreshing kalau Kakung masih sering minum kopi berlebih, nanti sakit nya kambuh gimana dong."     

Dira adalah sosok orang nya begitu peduli kepergian dua orang yang begitu diri nya cintai membuat dirasa makin overprotektif kepada orang lain dia di situ akan begitu sangat over kepada orang orang yang kirinya sayangi Dira tidak akan segan segan melakukan hal tersebut hingga membuat diri nya merasa aman.     

Terlebih pernah suatu ketika hari turun hujan yang begitu deras dan Arka belum juga pulang saat itu terlihat dengan jelas bagaimana raut wajah kekhawatiran dari Dira gadis itu begitu khawatir bahkan diri nya terus berusaha menelepon sang adik namun, belum tersambung sekalipun dan hal itu benar benar membuat Dira tidak tenang padahal sang Bunda sudah mengatakan bahwa Arka pasti terjebak macet karena hujan yang begitu deras.     

Sejak saat itu juga Dira menjadi lebih over terhadap apapun sedikit saja dirinya melihat orang lain sedang kesusahan maka Dira akan begitu khawatir dengan orang tersebut.     

"Oke siap Kakung enggak akan lagi minum kopi, soal nya nanti di marahi sama cucu kakung yang cantik ini," ucap bapak Joyo.     

Dira merespon ucapan yang dilontarkan oleh Bapak Joyo dengan senyum yang begitu mengembang ketiga nya lalu melanjutkan sarapan pagi mereka bersama. Sukabumi merupakan tempat yang begitu tentang hamparan sawah yang masih terlihat dengan jelas membuat siapa saja yang tinggal di tempat ini akan merasa begitu bahagia begitu juga dengan Dila liburan kali ini memilih untuk tinggal bersama dengan kakung dan uti nya.     

Setelah selesai sarapan pagi Dira akan membantu sang Uti untuk membereskan meja makan di tempat ini dirinya banyak belajar mengenai apa itu arti nya kehidupan, "Ra … nanti uti mau ke kebun, kamu mau ikut nggak?" tanya ibu Sri.     

"Boleh Uti Dira juga pengen tahu rasanya bagaimana pergi ke kebun," jawab Dhira.     

Dira segera menuju ke dapur gadis itu segera mencuci seluruh piring dan perlengkapan sarapan pagi sebelumnya Ibu Sri sudah melarang hal tersebut namun dia tetap saja ingin melakukannya gadis itu tidak akan menyuruh sang Uti nya melakukan nya sendirian.     

Setelah selesai dengan urusan dapur Dira lalu ikut bersama dengan ibu Sri pergi menuju kebun yang tak jauh dari rumah mereka kebun tersebut begitu banyak ditanami dengan beberapa sayuran yang saat ini sedang panen rumah kedua orang tua Dafa tersebut dikelilingi dengan banyak kebun dan sawah. Rumah tersebut adalah impian dari Bapak Joyodan Ibu Sri sejak lama ketika mereka akan pensiun maka rumah impian seperti saat inilah yang diinginkan oleh kedua nya.     

Dengan begitu susah apa Bapak Joyo membangun semuanya hingga akhir nya rumah impian mereka terwujud dengan begitu sempurna.     

"Selamat pagi Ibu Sri apa kabar nya Sudah lama tidak kemari," sapa salah satu wanita paruh baya di tempat tersebut.     

"Saya baru pulang mbok. Maka nya, baru sempat mampir saat ini," balas ibu Sri.     

Kedua nya asyik berbincang bincang satu dengan lainnya sedangkan Dira berjalan menuju mengelilingi kebun yang begitu indah di sekitar tempat tersebut. Tidak salah Dira memilih tempat ini tempat yang begitu membuat hatinya tenang setidaknya rasa sakit yang begitu dalam masih bisa terkubur dengan keindahan tempat tersebut.     

"Ra … sini sayang."     

Panggilan tersebut membuat Dira mendekat ke arah Ibu Sri, wanita itu lalu mengenalkan diri sebagai cucunya ke beberapa apa orang yang ada di tempat tersebut mereka semua dengan bangganya memuji kecantikan dan juga kesopanan dari Dira.     

Setelah bercengkrama dengan beberapa orang di sana Ibu Sri lalu mengajak Dira untuk menuju ke salah satu tempat dimana sudah banyak orang orang akan berkumpul untuk membeli hasil panen dari kebun hari ini Dira lalu mengikuti Ibu Sri pergi menuju ke tempat tersebut.     

Di tempat itu sudah banyak orang yang siap untuk membeli beberapa sayuran segar yang baru saja dipanen apalagi dengan harga yang lumayan lebih ringan.     

"Cucu nya ibu Sri seperti artis Korea ya, cantik pisan."     

"Iya cantik sekali. Wajar saja sih, orang neng Gina juga luar biasa cantik nya, jadi anak nya gak asing lagi kalau cantik mah."     

Banyak sekali pujian yang dilontarkan oleh orang orang di sana, Dhira hanya merespon dengan senyuman manis yang diri nya tampilkan. Ada juga beberapa orang di sana dengan terang terangan meminta ibu Sri untuk menjodohkan anak mereka dengan Dhira sontak saja hal itu membuat Dhira terkejut dan kaget. Sungguh gadis itu tidak pernah terpikir dengan apa yang di sampaikan oleh orang tersebut.     

"Kami pulang duluan Bu ibu," pamit ibu Sri.     

"Mari ibu," ucap Dhira.     

Mereka semua merespon dengan begitu semangat setiap hal yang dilakukan oleh Dhira. Ibu Sri dan Dhira pun segera beranjak dari tempat tersebut, mereka berjalan di pinggiran sawah yang begitu terbentang dengan sangat luas.     

***     

Sore yang begitu ini indah, aku terdiam di dalam kamar entahlah hari ini rasanya sangat malas untuk keluar dari dalam kamar. Tadi ketika terbangun dari tidur, entah kenapa kedua orang itu kembali datang ke dalam mimpiku, dua orang yang membuat perasaan ini begitu terluka mengingat kepergian mereka yang begitu cepat.     

Kak Gaby, pergi karena penyakit yang selama ini diri nya derita sedangkan Arsen pria yang begitu banyak memberikan kenangan manis harus pergi karena orang yang tidak tahu diri.     

Ya, Arsen menjadi korban dari seseorang yang tidak memiliki hati. Selama ini aku sangat yakin jika Arsen tidak pernah memiliki musuh. Dan benar saja, orang tersebut bukan musuh namun, mereka mengira Arsen adalah orang yang mereka incar meskipun sebelumnya Baba Daffa mengatakan pasti ada motif lain karena tidak mungkin semua nya berjalan dengan begitu baik seperti ini namun, memang itu yang terjadi semua hanya karena salah sasaran.     

Suara pintu terbuka membuat aku menoleh ke arah tersebut, terlihat dengan sangat jelas Itu masuk ke dalam kamar ini. Senyum di wajah wanita paruh baya itu tidak pernah luntur, wanita yang selalu mengajarkan aku begitu banyak pembelajaran hidup.     

"Uti kita kamu belum bangun loh sayang."     

Aku tersenyum ke arah uti, "Udah kok Uti, cuman masih mager aja. Jadi belum keluar," jawabku dengan menampilkan senyum yang begitu mengembang. Uti lalu mendekat dan mengusap kepalaku dengan penuh perasaan, wanita ini sama seperti Buna tangan nya begitu hangat.     

"Ya sudah kamu langsung mandi sana, uti udah bikin goreng ubi."     

Mendengar hal itu seketika senyum di wajahmu mengembang, ubi adalah makanan yang begitu disukai. Sudah sejak pertama kali datang, meminta dibuatkan gorengan ubi namun, karena memang beberapa kebun di tempat ini belum ada yang panen membuat aku harus mengurungkan niat untuk menikmati makanan yang begitu nikmat tersebut.     

"Siap uti, laksanakan." Uti langsung keluar dari dalam kamar, lalu aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Aku bukan tipe orang yang akan berlama lama di dalam kamar mandi, karena untuk apa berlama lama jika akhir nya akan keluar juga itu lah prinsip yang selalu aku tekankan.     

Senyum yang mengembang tidak pernah lepas dari wajah cantikku, turun menuju meja makan dan bisa terlihat bagaimana kedua orang yang sangat aku sayangi ada di sana. Baba dan Buna ku akhir nya datang, sesuai dengan janji mereka.     

L     

"Anak cantik Buna akhir nya bangun," ucap Buna Gina. Kedua orang tua aku sudah berjanji, ketika satu Minggu aku di tempat ini mereka akan datang untuk menjemput dan pulang ke Jakarta. Aku mengira mereka lupa, karena Baba tidak membalas pesan singkat yang dikirimkan tadi pagi. Tapi nyatanya tidak, mereka sudah berada di tempat ini, tanpa aku duga sedikit pun.     

Mereka selalu membebaskan apapun yang ingin aku lakukan, semua mereka lakukan karena tidak mau melihat aku bersedih karena mereka tahu bagaimana perasaan yang begitu hancur ini. Kami lalu di duduk di sana, mendengar perbincangan antara eyang Kakung dan Baba adalah sesuatu hal yang menarik. Karena semua nya tahu, bagaimana keadaan kedua orang tersebut selama ini. Baba dan eyang Kakung selalu bersikap egois dan ingin menang sendiri. Dan hal itu itu lah yang terkadang membuat kedua nya menjadi tidak saling peduli.     

Aku tersenyum menatap mereka semua yang begitu bahagia saat ini, tapi entah kenapa hati aku seolah tidak tenang dengan hal yang entah apa yang akan terjadi, jujur saja perasaan gelisah ini timbul ketika melihat Kakung batuk darah siang tadi. Rasa nya begitu tidak sanggup jika kembali harus merasakan sebuah kehilangan.     

Namun, pikiran tersebut aku buat jauh jauh. Tidak mau hal itu terjadi, aku berdoa supaya hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi. Sudah cukup rasa sakit ini terjadi tidak boleh hal itu terjadi lagi, entah apa yang harus aku lakukan jika hal tersebut terulang kembali.     

"Kamu mikirin apa sayang?" tanya Buna Gina. Aku lalu menoleh ke arah Buna, wanita yang begitu cantik dan hebat. Buna adalah wanita terbaik beliau selalu memberikan apapun untuk anak anak nya, termasuk kebahagian untuk kak Gaby di akhir hidup nya. Buna bukan membedakan kami, tapi Buna hanya ingin mengukir kebahagiaan di wajah kak Gaby. Karena Buna tahu, mau sekuat apapun, kak Gaby berjuang untuk hidup namun, nyata hal itu akan mustahil. "Nggak ada Bun. Aku hanya memikirkan, kebun dan sawah. Tinggal di tempat seperti ini benar benar membuat kita merasa begitu nyaman. Rasa nya aku ingin berada di tempat ini terus," jawabku dengan senyum yang tidak pernah luntur. Mendengarkan penuturan tersebut membuat Baba cemberut, aku tahu baba adalah orang yang tidak suka jauh dari anak anak nya, bukan karena Baba overprotektif namun, bagi Baba berkumpul bersama anak dan istri adalah sesuatu hal yang luar biasa.     

"Tapi tinggal nya sama Baba dan Buna juga kok," lanjutku. Mendengar ucapan tersebut seketika, raut wajah Baba berubah benar saja jika pria yang begitu garang tersebut, bisa berubah menjadi seperti ini. Terkadang aku, ingin tertawa melihat perubahan ekspresi wajah Baba yang luar biasa.     

***     

Setelah dua hari baba dan Buna berada di sini, akhir nya kami pun pamit untuk kembali ke Jakarta. Rasa nya saat ini aku tidak tega meninggalkan kedua orang tersebut namun, mau bagaimana lagi Aku harus segera pulang untuk menyelesaikan beberapa administrasi yang harus segera dilengkapi untuk persyaratan masuk ke perguruan tinggi.     

Pelukan hangat yang diberikan oleh kedua nya benar benar membuat aku begitu semakin berat meninggalkan mereka. Rasa nya ada perasaan yang mengganjal di dalam hati, terlebih batuk kakung juga semakin parah.     

"Bapak obat nya jangan lupa di minum. Ini vitamin nya juga," ucap Buna Gina. Sebelum pulang, Buna yang sudah kembali bertugas sebagai dokter di salah satu rumah sakit memeriksakan keadaan Kakung lebih dulu. Dan untunglah semua nya baik baik saja, aku rasa nya begitu takut jika ada hal yang buruk terjadi.     

Setelah selesai berpamitan kami segera pergi meninggalkan halaman rumah eyang kakung dan juga Eyang Uti terlihat dengan sangat jelas keduanya tersenyum bahagia ke arah kami baba dan buna juga melakukan hal yang sama.     

Selama di perjalanan tidak ada hal yang begitu banyak aku lakukan menatap kearah jendela melihat begitu banyak sawah yang sangat indah, warna hijau adalah sesuatu hal yang begitu menarik sehingga setiap hal yang menjadi objek nya sangat baik untuk dilakukan.     

Aku hanya diam mendengarkan bagaimana kedua orang dewasa yang ada di depan berbicara dan bercerita bersama mengingat masa muda mereka sesekali aku menjawab ucapan yang dilontarkan oleh mereka ternyata dibalik sosok Baba yang begitu menyeramkan ternyata adalah suami takut istri.     

"Jadi kamu beneran mau ambil kuliah di sini aja nggak jadi keluar?" Pertanyaan demi pertanyaan yang sering dilontarkan tersebut kepada aku terkadang membuat perasaan ini tidak nyaman bukan karena pertanyaan yang mereka berikan melainkan karena kenangan yang mengusik hati ini dengan senyum yang mengembang Aku menjawab pertanyaan dari Buna.     

Terlihat dengan sangat jelas guratan kecewa di wajahnya dengan jawaban apa yang aku berikan aku tahu kedua orangtua mana yang tidak kecewa dengan keputusan anaknya secara mendadak namun mau bagaimana lagi hal itulah yang menjadi keputusan final. Impian yang terkubur dengan begitu dalam dan tak akan pernah bisa kembali impian yang hanya akan menjadi kenangan pahit bukan manis seperti yang diinginkan.     

"Apapun yang kamu inginkan. Kamu harus ingat, bahwa baba dan Buna akan selalu mendukung kamu sayang. Kami akan selalu ada untuk kamu selama nya," ucap Buna Gina.     

Aku tersenyum mendengar ucapan tersebut, kedua nya memang kecewa namun, mereka tidak pernah mau memperlihatkan hal tersebut kedua nya selalu menyembunyikan apapun yang dirasakan. Dua orang yang menjadi panutan, aku untuk selalu mengimbangi semua hal yang terjadi.     

***     

Perjalanan yang begitu melelahkan, membuat aku langsung masuk ke dalam kamar rasa nya begitu lelah. Meskipun saat di dalam mobil bukan aku yang mengendarai nya namun, walaupun hanya duduk saja benar benar membuat semua tulang rasa nya ingat lepas.     

Segera aku masuk ke dalam kamar mandi, tapi sebelum nya aku ambil yang ada di dekat tempat tidur entah apa yang aku lakukan sehingga membuat gelas yang aku pegang terjatuh dan hal itu membuat jantung aku berdetak dengan begitu kencang.     

Baru saja aku ingin, membersihkan pecahan gelas tersebut, seseorang dari luar masuk ke dalam kamar. Arka dengan napas yang begitu naik turun, langsung mendekat ke arahku dan memeluk dengan begitu erat. Hal yang dilakukan oleh Arka benar benar membuat aku terdiam dan takut, sungguh perasaan ini semakin tidak karuan.     

"Kak … eyang Kakung meninggal."     

Mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Arka membuat aku terdiam sesaat, mencernah ucapan dari nya. Sungguh rasa nya begitu tiba tiba, bukan kah tadi kamu baru bertemu namun, kenapa hal itu terjadi begitu cepat. Kepala aku tiba tiba pusing, semua nya gelap suara Arka semakin lama semakin menghilang hilang tidak terdengar dengan jelas kembali.     

Kepalaku begitu berat, dan sakit ketika terbangun dari tempat tidur di dalam kamar sudah ada Tante indah, wanita itu segera mendekat dan memelukku. Ucapan yang dilontarkan oleh Tante Indah, memaksa aku harus ingat akan hal yang begitu ingin dilupakan.     

"Kamu yang kuat, jenazah Kakung dalam perjalanan. Kakung berpesan dengan Uti, mau dimakamkan di sini, supaya cucu cucu nya bisa sering berkunjung," ucap Tante Indah.     

Aku tidak tahu harus merespon seperti apa yang jelas, hanya diam yang bisa aku lakukan saat ini. Tidak ada hal lain lagi, rasa nya begitu shock dengan apa yang terjadi. Baru beberapa bulan yang lalu luka itu terbentuk, dan belum juga membaik tapi kali ini kembali tergores rasa nya aku ingin berteriak.     

"Kamu bersih bersih dulu ya. Tante turun sebentar ke bawah," ucap Tante Indah. Aku hanya merespon dengan anggukan kepala nya, tidak ada yang harus aku lakukan. Sudah cukup kesedihan ini terjadi, aku benar benar tidak mau hal seperti ini terulang kembali. "Kenapa … kenapa Tuhan, kenapa rasa ini harus terulang kembali. Kenapa perasaan sedih ini, luka lama ini belum pulih hingga sekarang kamu kembali torehkan luka baru." Air mataku mengalir dengan begitu deras, rasa nya begitu menyakiti nya. Aku tidak sanggup berada di posisi seperti ini, posisi yang benar benar membuat aku sakit, posisi yang benar benar membuat aku tidak nyaman.     

Sungguh semua yang terjadi, membuat mental aku sakit rasa nya hati ini menjadi hampa akan hal itu, air mata yang mengalir tidak bisa mewakili, rasa yang begitu menyayat hati. Kematian memang akan selalu dihampiri oleh, setiap orang namun, bukan saat ini yang diinginkan oleh aku.     

"Apa sudah tidak ada lagi, kebahagian di dalam hidup aku ini Tuhan. Sehingga takdir yang aku jalani begitu tidak baik, sungguh aku tidak sanggup dengan semua yang terjadi."     

***     

Air mataku sudah tidak mau mengalir lagi. Menatap ke arah tubuh yang sudah kaku, ini benar benar membuat hati dan perasaan ini hampa. Rasa nya begitu tidak nyaman dengan keadaan yang terjadi. Ingin aku berteriak agar bisa terbangun dari mimpi, tapi tidak bisa karena apa yang terjadi sekarang bukan mimpi semua nya nyata.     

"Kak!" panggil Arka. Aku menoleh ke arahnya, terlihat Arka juga bersedih akan hal yang terjadi. Aku harus terlihat baik baik saja di depan semua nya, aku tidak mau membuat mereka semua khawatir denganku. Karena jika hal itu terjadi, fokus mereka akan terbaik.     

"Kakak kalau mau istirahat masuk aja ke dalam kamar. Jangan dipaksakan," ucap Arka. Anggukan kepala adalah respon yang aku lakukan, karena aku tidak tahu harus merespon seperti apa karena aku takut apa yang aku lakukan akanbuat Arka khawatir.     

###     

Selamat membaca dan terima kasih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.